Cerpen "Tepat di belakangmu"
Karya : PelengkapKata
Hujan turun membasahi seluruh permukaan bumi, ketika matahari baru saja menyambut pagi. Suara gerutuan dari orang-orang sekitar yang sedang berteduh membuat perempuan bertubuh kecil bernama Ilona merasa terganggu. Dia mengembungkan kedua pipinya seperti kebiasaannya ketika merasa kesal, seraya dalam hati mengatakan 'Tuan dan Nyonya sekalian, bisa kalian berhenti mengeluh?'
Untuk beberapa saat, keadaan jadi lebih hening seakan orang-orang itu bisa mendengar kata hati Ilona. Tapi kemudian suara lagu pembuka serial kartun doraemon yang menjadi dering ponsel milik Ilona, membuat beberapa orang jadi menaikkan alisnya bahkan ada yang terang-terangan mencibir. Dengan gerakkan kikuk, Ilona meminta maaf baru setelahnya sedikit menyingkir untuk menerima panggilan.
"Halo, kenapa Teri? Gue masih neduh nih di bawah fly over BKM. Kalo gue di cariin orang kantor, bilang aja gue telat. Bodo amat deh, kalo Bu bos ngamuk. Yah namanya juga hujan, gak mungkin gue terabas. Bisa basah kuyub yang ada." Cerocos Ilona yang disambut dengan suara helaan napas panjang dari sebrang sana.
"Halo..Teri..woy Teri? Lo masih dengerin gue kan?" Ilona menjauhkan telepon genggamnya, untuk memastikan jika sambungan telepon mereka masih tersambung dengan baik.
"Udah selesai ngomongnya?" Tanya Teri dengan suara pelan.
Cepat-cepat Ilona kembali menempelkan teleponnya ke telinga, kemudian menyengir lebar. "Ye sorry...gue kepanjangan ya ngomongnya. Sekarang giliran lo deh."
"Kebiasaan lo mah. Tapi lupakan soal yang tadi, gue punya kabar terbaru buat lo. Jivan udah balik dari Yogjakarta, kemarin malam baru sampe. Denger dari anak-anak, katanya Jivan balik karena mau ngadain acara lamaran. Jadi gue mau tanya tanggapan lo tentang berita ini?"
Ilona menggigit bawah bibirnya terlebih dulu, sebelum akhirnya kembali buka suara. "Gue...ikut bahagia dengernya."
"Hah?!" Teriak Teri, membuat Ilona menjauhkan teleponnya agar telinganya tetap sehat. "Duh, Ilo sayangkuh. Lo ini bisa gak sih jujur sama perasaan sendiri. Gue tahu banget lo pasti sedih denger berita ini."
"Apaan sih?" Sanggah Ilona. "Teri dengerin gue ya, Jivan mau ngelamar perempuan yang dia cinta. Jadi buat apa gue sedih? Lagian gue emang gak pantes buat bareng sama dia."
"Gue gak ngerti ya sama jalan pikiran lo. Gak pantes gimana coba? Harusnya yang punya pikiran kayak gitu, Jivan tau gak. Pokoknya nanti malem lo harus ikut gue, kita ke tempat Jivan ngadain acaranya. Lo harus liat langsung, gimana perempuan itu. Oke, bhay."
Telepon terputus secara sepihak, membuat Ilona termenung sendiri. Bayangan saat dirinya masih bersama Jivan dulu langsung terputar dipikiran seperti sebuah film. Menggambarkan bagaimana lucunya tingkah Jivan ketika keduanya sedang terjebak di halte saat hujan turun.
"Lo kedinginan?" Ilona menggelangkan kepalanya sebagai jawaban.
"Gak usah bohong, tubuh lo udah gemeteran gitu kok." Jivan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini lo pake aja, tadi di sekolah kainnya abis gue pake buat praktek sholat jenazah."
Ilona mengambilnya dan kemudian tersenyum jahil. "Pasti kainnya lo pake buat nutupin badan kan?"
"Tau aja lo. Yah, habisnya gimana ya. Gue gak hapal bacaan sholatnya, tapi untung aja Pak Komar mau diajak negosiasi. Hasil akhir, gue bisa dapet nilai b meski berpura-pura jadi mayat." Ucap Jivan dengan diakhiri suara tawa keduanya.
Ilona menghapus jejak air matanya, tanpa sadar potongan kenangan itu membuatnya menangis. Hujan rasanya tidak menyenangkan seperti dulu, tapi setidaknya dia satu-satunya yang tetap tinggal bersama Ilona. Ponselnya kembali berbunyi, kali ini bukan sebuah panggilan dari Teri melainkan karena ada notifikasi pesan dari grup alumni sekolahnya. Yang berisi undangan terbuka dari nama kontak 'Manusia Bumi' untuk datang ke acara lamarannya nanti malam.
Setetes bulir air mata Ilona kembali jatuh tanpa bisa ditahan, rasa sakitnya membuatnya ingin memukul dada agar bisa sedikit merasa lega. Dengan kesakitan yang dirasanya, Ilona mengetikkan sebuah pesan balasan. Setelah terkirim, Manusia Bumi yang Ilona kenal sudah tidak ada lagi.
Ilona baru saja ingin menghapus jejak air matanya dengan kedua tangan, sebelum sebuah tisu disodorkan dari arah samping kanan tubuhnya. Ketika pasang matanya menoleh, sosok Manusia Bumi yang membuatnya menangis berada di hadapannya. Seluruh saraf tubuh Ilona kaku, Demi Tuhan bukan dengan cara seperti ini Ilona mau bertemu dengannya.
"Ambil," Jivan menyodorkan tisu ke hadapan Ilona dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
"Kok lo bisa ada di sini?" Pertanyaan itu akhirnya mampu diutarakan Ilona.
"Mungkin takdir. Lo sendiri kenapa nangis gitu?"
"Hng..itu kena cipratan air hujan. " jawab Ilona asal, yang ditanggapi dengan anggukan kepala Jivan meski diam-diam pria itu tahu alasan sebenermya.
"Gimana kabar lo?"
"Baik. Lo sendiri?"
"Seperti yang lo liat. Gue masih menapak di bumi."
Jivan tersenyum kecil, sebelum kembali bersuara. "Lo masih belum berubah. Masih mahluk mars yang gue kenal. Senang bisa bertemu lagi." Ilona rasanya ingin memeluk Jivan dan bilang hal yang sama, tetapi dia cukup tahu diri.
"Gue harus buru-buru ke kantor. Kalo gue tinggal gak papa kan?"
"Tapi ini masih hujan, mending kita ke cafe sebrang." Ajak Jivan, yang jujur sangat sulit untuk ditolak Ilona mengingat ini kesempatan terakhir mereka bisa bersama lagi.
Setelah menimbang-nimbang, Ilona mengiyakan ajakan itu. Sementara Jivan langsung mengambil payung yang berada di dalam mobilnya, membuat Ilona sedikit merasa heran dengan pertemuan kebetulan ini.
"Ayo," Keduanya berjalan bersisian, di bawah payung yang sama.
******
Belum ada obrolan, sampai akhirnya pelayan datang membawa pesanan segelas kopi hitam dan susu cokelat.
"Jadi, lo sekarang udah nerbitin berapa buku?" Tanya Jivan, berusaha memecah keheningan yang sempat tercipta tadi.
"Empat belas buku,"
"Wih, keren. Gue dari dulu emang udah yakin banget lo pasti berhasil nerbitin buku."
"Alasannya?"
"Karena gue yakin sesuatu yang lo ceritakan di tulisan selalu pakai hati. Termasuk surat ucapan yang lo buat dulu." Jivan mengeluarkan secarik kertas yang sudah sedikit kecoklatan mungkin karena terlalu lama tersimpan.
Ilona menahan sesak di dadanya, jika saja bisa menangis dia ingin menangis sekarang juga di hadapan Jivan agar pria itu sadar seberapa banyak luka yang sudah dia berikan. "Dapet darimana surat itu? Setahu gue, itu surat udah lama gue buang."
"Waktu itu gue balik lagi, Ilo. Tapi lo udah pergi. Gue nemuin surat itu di meja." Jivan mencoba menatap Ilona lamat. Tapi perempuan itu selalu mengalihkan tatapannya ke sembarang arah.
"Semuanya udah selesai. Lo juga balik ke sini, karena mau ngelamar kekasih lo kan? Yaudah, kenapa harus ngungkit masa lalu?"
"Masih banyak yang gue gak paham dari cerita kita kemarin. Gue pengen mastiin perasaan lo sebenernya."
Ilona tertawa sumbang. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu sebelum perhatian Jivan beralih ke teleponnya yang berbunyi.
"Gue harus pergi. Nanti kita lanjutin lagi obrolan ini." Setelah mengatakan itu, Jivan pergi meninggalkan Ilona sendiri. Seperti waktu itu, kejadian ini terulang untuk kedua kali.
"Mbak saya pesan satu kopi hitam sama susu cokelat ya. Makasi." Ilona sedang menunggu kedatangan Jivan, sesuai janji mereka yang akan bertemu di sini untuk membicarakan universitas pilihan masing-masing mengingat di sekolah keduanya tidak pernah terlihat bersama. Sambil menunggu, Ilona mengeluarkan secarik kertas yang dirobek dari halaman tengah bukunya. Dia menuliskan sebuah ucapan untuk diberikan pada Jivan nanti.
Selamat ulang tahun, manusia bumi (ku), aku tidak tahu pasti kapan hari ulang tahunmu. Jadi aku menuliskan ucapan ini, sambil berharap nanti kau membacanya di hari yang tepat.
Ada banyak hal yang ingin kusampaikan, tapi saat mulai menulis. Aku justru bingung harus menulis apa. Ini aneh. Sama anehnya dengan hubungan kita. Dimana selama tiga tahun kita selalu bersama, aku tidak mengetahui segala hal tentangmu selain perasaan yang bersemayam di hati.
Jangan tanya alasannya, karena aku pun tidak tahu. Sekali lagi aku ingin bilang selamat ulang tahun. Doa dariku cukup Tuhan saja yang tahu. Berbahagia lah selalu. Aku mencintaimu.
Tertanda
💜
Mahluk mars Tulisan Ilona selesai bertepatan dengan pelayan yang mengantarkan pesanan. Tetapi Jivan masih belum juga datang, sementara waktu sudah berjalan jauh dari yang dijanjikan diawal. Satu jam kemudian Jivan baru datang, setelah segelas susu cokelat milik Ilona sudah habis. Menyisakan segelas kopi hitam milik Jivan yang sudah dingin.
"Sorry gue telat, tadi gue abis jalan dulu sama Melisa."
Ilona hanya mengangguk lesu, Jivan bisa tetap datang saja dia sudah beryukur. Apalagi kalau mengingat Jivan yang begitu terkenal di sekolah mau berteman dengannya adalah sebuah keajaiban nomor delapan di kehidupan Ilona.
"Kopi hitamnya udah dingin tapi, apa mau pesen lagi aja?" Tawar Ilona yang ditanggapi dengan gelengan kepala dari Jivan.
"Gue harus pergi lagi, Melisa udah nunggu di luar. Gue tinggal gak papa ya?" Jivan menepuk pelan bahu Ilona, hendak pergi sebelum kembali bicara. "Oh iya, gue mau cerita hari ini gue udah jadian sama Melisa."
Sebuah kalimat penutup yang membuat Ilona akhirnya sadar untuk terus tetap mengubur perasaannya.
Entah sudah berapa kali hari ini Ilona menangis untuk hal yang sama. Impian yang selama ini selalu bergerak di kepalanya, agar suatu saat dia dan Jivan bisa duduk bersama di kursi belakang halaman rumah dengan ditemani segelas kopi hitam dan susu cokelat, mengobrolkan banyak hal hingga lupa waktu sembari menunggu anak-anaknya pulang sekolah. Selamanya akan terus menjadi mimpi.
Ilona menghembuskan napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengetikkan sebuah pesan untuk Teri yang berisi izin ketidakhadirannya di kantor hari ini.
*****
Sebenarnya Ilona tidak ingin datang, tapi setelah berperang dengan batinnya sendiri akhirnya dia memutuskan untuk hadir. Gaun selutut berwarna hitam dengan aksen taburan mutiara di sekitar dada sengaja dipilih Ilona untuk menghadiri acara malam ini. Polesan di wajahnya juga tidak berlebihan, hanya bagian bawah mata saja yang diberi concelar lebih banyak agar bisa menutupi matanya yang membengkak akibat terlalu banyak menangis.
Tampilan Ilona begitu sederhana mengingat dia bukan lah pemeran utamanya. Dengan perasaan gusar, Ilona berjalan ke pintu masuk gedung yang menurut Teri adalah tempat acara Jivan berlangsung.
"Lo yakin ini tempatnya? Kok keliatan sepi gini dari depan."
"Coba lo masuk duluan aja. Gue mau telepon Eza dulu." Perintah Teri pada Ilona, awalnya Ilona enggan masuk dia ingin menunggu Teri selesai menelpon Eza saja. Tapi sahabatnya itu terus memaksannya, alhasil Ilona jengah dan menurut.
Suara higheels milik Ilona saja yang seakan mengisi kesunyian di dalam ketika perempuan itu mulai masuk. Ilona hendak berbalik keluar ketika merasa ada yang aneh, tetapi pergerakannya terhenti ketika semua lampu di ruangan seketika padam.
Tubuh Ilona mulai bergetar, karena gelap adalah musuh terbesarnya selama ini. Dia mulai berteriak memanggil nama Teri, berharap sahabatnya itu cepat menemukannnya. Tapi setelah tiga kali memanggil, tidak ada jawaban juga dari Teri. Ilona berusaha tenang, dia mencoba mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Ketika menemukannya dan senter sudah dalam posisi hidup, tiba-tiba ponsel itu diraih oleh tangan lain membuat Ilona kaget setengah mati.
"Jivan?!" Pekik Ilona, tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang namun dengan sigap Jivan menangkapnnya.
Ilona berusaha melepaskan tubuhnya dari Jivan, sampai harus menginjak kaki pria itu dengan higheelsnya. "Jelasin apa maksudnya ini?"
Jivan mengaduh kesakitan dengan diselangi tawanya. Kemudian setengah berjongkok, pria itu bertepuk tangan sebagai tanda untuk menghidupkan proyektor. Ilona yang masih belum paham, hanya bisa menatap Jivan dengan pandangan bertanya. Jivan kemudian berdiri dan menyuruh Ilona untuk melihat ke arah depan.
Dimana ada sebuah layar besar yang menampilkan sebuah vidio yang berisi gambar wajah Ilona semasa sekolah dari berbagai sudut. Foto itu Jivan sendiri yang memotretnya, tanpa pernah disadari Ilona-Jivan dari dulu hanya menatap satu perempuan yaitu dirinya. Diakhir vidio, terdengar suara Jivan yang mengucapkan pernyataan hatinya selama ini.
"Sejak dulu aku adalah pria bodoh, yang tak pernah mampu berkata jujur soal perasaan cinta. Berulang kali aku menyakiti kamu, dengan membuat hubungan palsu. Berulang kali aku mencegah kamu buat tahu semua hal tentang aku supaya kamu tidak bisa masuk ke dalam duniaku. Tapi hari ini aku ingin jujur, aku tidak mau karena kebodohan ini nanti aku kehilangan kamu. Ilona Pramesta, mahluk mars yang ku cintai..maukah kamu menikah denganku?"
Ilona menoleh ke arah samping di mana ada Jivan yang tengah tersenyum ke arahnya, ajakan barusan benar-benar membuat Ilona tidak mampu bereaksi apa-apa selain hanya menangis. Sapuan pelan di kedua sudut matanya, membuat Ilona bertambah yakin jika ini semua nyata bukan lah ilusi semata.
"Tapi gimana jadi istri yang baik, kalo semua hal tentang kamu aja aku gak tahu." Bisik Ilona, entah dorongan darimana perempuan itu mengganti sebutan 'gue-lo' jadi 'aku-kamu'.
Jivan kembali tersenyum lebar. "Kita bisa kenalan ulang." Dengan mengulurkan tangannya, Jivan berkata. "Hai, aku Jivan Ardilova. Lahir di Bandar Lampung, 24 april 1993. Makanan kesukaanku nasi goreng. Warna favorit hitam, perempuan yang ku cinta itu kamu."
Ilona menyambut uluran tangan Jivan, diringi tawannya. "Memangnya ada kenalan yang begini?"
"Ada kok."
"Buktinya mana?" Tantang Ilona.
"Kita." Jawab Jivan mantap dan keduanya kembali tertawa.
Dari balik jasnya, Jivan mengeluarkan sekotak beludru merah yang diserahkannya pada Ilona. Ketika dibuka, isinya adalah satu kacang kulit yang dililitkan pita merah dan secarik kertas bertuliskan 'Aku mencintaimu'. Ilona memandang dengan tatapan bertanya.
"Barusan aku bercanda," Jivan meraih tangan Ilona dan memasangkan cincin dijari manisnya.
"Emangnya aku udah bilang mau?"
"Kamu gak mungkin nolak aku, apalagi pas aku liat sendiri kamu yang nangis pas baca pesan di grup alumni." Balas Jivan telak, membuat kedua pipi Ilona memanas.
"Kamu nyebelin! Jadi semunya sengaja udah di setting?" Teriak Ilona sementara Jivan tertawa.
"Aku gak mungkin menikah dengan perempuan selain kamu. Beruntung Teri mau bantuin aku."
Keduanya lamtas saling berpelukan, bertepatan dengan lampu yang menyala. Ilona melihat banyak teman-temannya yang sedang menyorakinya, tak terkecuali Teri dan kedua orang tuanya yang sedang tersenyum lebar. Semua penantian Ilona selama ini, akhirnya terbayar sudah. Impian-impiannya akan masa depan, mulai bergerak kembali di kepala.
"Aku mencintaimu, Manusia Bumiku." Bisik Ilona yang kemudian dibalas Jivan dengan kecupan singkat di dahi.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo kita diskusi ^_^